Selasa, 23 Agustus 2011

Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono
AKU INGIN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada




AKULAH SI TELAGA

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;

berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;

berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja

-- perahumu biar aku yang menjaganya


Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.


ANGIN, 1

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "hei siapa ini yang mendadak di depanku?"

angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi

-- sampai pagi tadi:

ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.


ANGIN, 2

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman.

Seekor ular lewat, menghindar.

Lelaki itu masih tidur.

Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang

di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.


ANGIN, 3

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

"Seandainya aku bukan ......

Tapi kau angin!

Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,

menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.

"Seandainya aku . . . ., ."

Tapi kau angin!

Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.

"Seandainya ......

Tapi kau angin!

Jangan menjerit:

semerbakmu memekakkanku.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

ATAS KEMERDEKAAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

kita berkata : jadilah

dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut

di atasnya : langit dan badai tak henti-henti

di tepinya cakrawala

terjerat juga akhirnya

kita, kemudian adalah sibuk

mengusut rahasia angka-angka

sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus

dari segenap mimpi kita

sementara seekor ular melilit pohon itu :

inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah

Horison

Thn III, No. 8

Agustus 1968

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

DI TANGAN ANAK-ANAK

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung . yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.

"Tuan, jangan kauganggu permainanku ini."

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang

aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan

aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang

aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

BUNGA, 1

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

(i) Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.

Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;

siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;

malam hari ia mendengar seru serigala.

Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

(ii) Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.

Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....

Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

BUNGA, 2

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik

taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata

jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada

alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin

menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu

kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya

selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma

pendar-pendar di permukaan kolam

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

BUNGA, 3

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu

tak ada sahutan

seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu

lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?"

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

CARA MEMBUNUH BURUNG

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu?

soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)

soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian

soalnya ia baka

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

CERMIN, 1

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

cermin tak pernah berteriak;

ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,

meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;

barangkali ia hanya bisa bertanya:

mengapa kau seperti kehabisan suara?

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

CERMIN, 2

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;

tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;

dan cermin menangkapmu sia-sia

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

DI ATAS BATU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali

ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari

ia pandang sekeliling : matahari yang hilang - timbul di sela goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung

-- ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

PERTAPA

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Jangan mengganggu:

aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata -- ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna -- masih beranikah kau menyapaku, Saudara?

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

DUA PERISTIWA DALAM SATU SAJAK DUA BAGIAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

1

sehabis langkah-langkah kaki: hening

siapa?

barangkali si pesuruh yang tersesat dan gagal menemukan tempat- tinggalmu padahal sejak semula sudah diikutinya jejakmu

padahal harus lekas-lekas disampaikannya pesan itu padamu

2

seolah-olah kau harus segera mengucapkan sederet kata

yang pernah kaukenal artinya,

yang membuatmu terkenang akan batang randu alas tua

yang suka menjeritjerit kalau sarat berbunga

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

GONGGONG ANJING


Oleh :

Sapardi Djoko Damono

gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur

lalu merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah

menyusup lewat celah-celah genting

bergema dalam kamar demi kamar

tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki

siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?" tanya sunyi


Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

HATIKU SELEMBAR DAUN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;

sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

KEPOMPONG ITU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan

kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga

dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

KETIKA MENUNGGU BIS KOTA, MALAM-MALAM

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

"Hus, itu bukan anjing; itu capung!" katanya. Tapi capung tak pernah terbang malam, bukan? Capung tak suka ke tempat sampah

-- biasanya ia hinggap di ujung daun rumput waktu pagi hari,

dan kalau ada gadis kecil akan menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar sambil mendengarkan suara "aahh!" Tubuhnya mungil, bukan?

Sedangkan yang kulihat tadi jelas anjing kampung yang ekornya buntung, menjilatjilat tempat sampah yang di seberang halte itu, mengelilinginya,

lalu kencing di sudutnya.

Hanya saja, aku memang tak melihat ke mana gaibnya.

"Itu capung!" katanya. Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di seberang sana tadi.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

KISAH

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.

Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.

Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.

Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.


Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

KUKIRIMKAN PADAMU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,

par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.

Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.

Namun ada.


Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

KUTERKA GERIMIS

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Kuterka gerimis mulai gugur

Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku

sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu

Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu

Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

LIRIK UNTUK LAGU POP

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis

-- pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)

aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut

-- nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!)

aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek

-- ketika hutan mendadak gaib

jangan pejamkan matamu:

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

MATA PISAU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

mata pisau itu tak berkejap menatapmu

kau yang baru saja mengasahnya

berfikir: ia tajam untuk mengiris apel

yang tersedia di atas meja

sehabis makan malam;

ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

DI SEBUAH HALTE BIS

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau memang tak pernah berumah, dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih.

Pagi harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

PERAHU KERTAS

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.

"Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.

Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.

Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,

"Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit."


Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

PERISTIWA PAGI TADI


Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.

Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.

Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.

Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

PESAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya.

Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.

Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan .....


Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

PESTA

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

pesta berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa-basi itu; tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya

. . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, "aku rindu, aku ingin mempermainkanmu! "

kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan berisik, mengganggu .

hujan!"

hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,

hardiknya, 'lepaskan daun itu!"

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

SAJAK NOPEMBER

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Siapa yang akan berbicara untuk kami

siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini

bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur

yang berjejal

bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental

tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami

dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan

siapa yang akan berbicara atas nama kami

yang berjejal dalam kubur

bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan

bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan

tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami

siapa yang bisa paham makna kehendak kami

kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana

ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus

tanpa dicatat namanya

kepada Ibu yang lebih besar dan agung :

ialah Tanah Air

kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah

yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus

untuk pergi lebih dahulu

apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami

apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami

mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik

tanpa mengeluh serta putus asa

di Solo dua orang dalam satu kuburan

di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan

di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan

dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik

tapi katakanlah kepada anak cucu kami;

di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu

bertimbun dalam satu lobang

dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu

tambur yang paling besar telah ditabuh

dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami

terompet yang paling lantang ditiup

dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu

kami pun bangkit dari kubur

memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah

kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan

diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya

kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati

kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka

dan hari depan, sudah itu : mati

orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu

tanpa tahu siapa kami ini

tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus

tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal

tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah

dan sudah itu : mati

siapa berkata bahwa kami telah musnah

siapa berkata

kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar

kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah

di ladang dan di laut, meskipun kalian

tiada menyadari kehadiran kami

siapa berkata bahwa kami telah musnah

siapa berkata

tanah air adalah sebuah landasan

dan kami tak lain baja yang membara hancur

oleh pukulan

ialah kemerdekaan

kemarin giliran kami

tapi besok mesti tiba giliranmu

kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih

terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak

hidup dan mengerti makna kemerdekaan

dan kami adalah baja yang membara di atas landasan

dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan

(mungkin besok tiba giliranmu)

siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa

siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak

ingat untuk apa kamu pergi

siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam

siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia

ingat kenapa kami tak kembali

begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan

apa saja untuknya

jawablah : ya

begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa

jawab lagi : ya

sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari

datang untuk memberkati anak-anak yang tidur

sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan

bahasa dan kehendak kami

sudah kau dengarkah suara napas kami

menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur

sebab kami selalu dan selalu lahir kembali

selalu dan selalu berkelahi lagi

mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak

mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak

tapi toh tak ada bedanya:

kami telah memulainya

dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya

dan memang tak ada bedanya :

kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan

bagimu adalah awal pertaruhan

awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi

meski kami pernah kau kenal atau tidak

meski kami pernah kau jumpa atau tidak

kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani

yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik

kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung

lantaran satu harapan yang pasti

walau tak pernah kembali

kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda

kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama

tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami

agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan

mengeluarkan ampun

kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi

tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini

agar tak lagi mengembara arwah kami

kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati

kami telah mati

lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini

hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami

kami telah berkelahi; dan mati

tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami

dan mengatakannya kepada siapa pun

tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami

yang telah mati pagi sekali

dan berjalan tanpa nama dan tanda

dalam satu lobang kubur

kami telah lahir dan selalu lahir

selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah

selalu dan selalu berkelahi

di mana dan kapan saja

biarkan kami bicara lewat suara anak-anak

yang menyanyikan lagu puja hari ini

biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana

dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini

Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar

atas rasa bangga kami yang sederhana

biarkanlah kami bicara hari ini

lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja

lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta


Gelora

Th III, No 19

( Nopember 1962)

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

TUAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,

saya sedang ke luar.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

SAJAK SUBUH

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, "Jangan bermimpi!" dan ia terkejut tak mengerti.

Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.

"Jangan bermimpi!" gertak mereka.

Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, "Jangan bermimpi! "

Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .....


Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

SAJAK TELUR

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung

semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin

memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai

merindukan telur

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

SELAMAT PAGI INDONESIA

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk

dan menyanyi kecil buatmu.

aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,

dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam

kerja yang sederhana;

bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan

tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.

selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,

di mata para perempuan yang sabar,

di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;

kami telah bersahabat dengan kenyataan

untuk diam-diam mencintaimu.

pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu

agar tak sia-sia kau melahirkanku.

seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam

padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.

aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,

merubuhkan kesangsian,

dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng

kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman

yang megah,

biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu

wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,

para perepuan menyalakan api,

dan di telapak tangan para lelaki yang tabah

telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil

memberi salam kepada si anak kecil;

terasa benar : aku tak lain milikmu

Basis

Thn. XV - 4

Januari 1965

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

SERULING

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya ....

Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.


Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

SETANGAN KENANGAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu. Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar- gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana ....

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.


SIHIR HUJAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan

-- swaranya bisa dibeda-bedakan;

kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.

Meskipun sudah kau matikan lampu.

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan

- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.


SUDAH KUTEBAK

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

udah kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya,

kau berkias tentang sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit,

menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang,

menyambar, berputar-putar membuat lingkaran,

menyambar, mabok membentur batu-batuan.

Kutebak si pengail masih terkantuk-kantukdi tepi sungai itu.

Sendirian.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.


TAJAM HUJANMU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

tajam hujanmu

ini sudah terlanjur mencintaimu:

payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,

air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,

aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,

arloji yang buram berair kacanya,

dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan

deras dinginmu

sembilu hujanmu


Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.


TEKUKUR

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Kautembak tekukur itu. Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput. "Kena!" serumu.

Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai. "Tapi ke mana terbang burung luka itu?" gerutumu.

Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.

"Merdu benar suara tekukur itu," kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

TELINGA

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

"Masuklah ke telingaku," bujuknya.
Gila

ia digoda masuk ke telinganya sendiri

agar bisa mendengar apa pun

secara terperinci -- setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis

yang menciptakan suara.

"Masuklah," bujuknya.

Gila ! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.


Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.


TENTANG MATAHARI

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Matahari yang di atas kepalamu itu

adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu

waktu kau kecil, adalah bola lampu

yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat

yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,

adalah jam weker yang berdering

sedang kau bersetubuh,

adalah gambar bulan

yang dituding anak kecil itu sambil berkata :

"Ini matahari! Ini matahari!"

Matahari itu? Ia memang di atas sana

supaya selamanya kau menghela

bayang-bayanganmu itu.

YANG FANA ADALAH WAKTU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

ang fana adalah waktu. Kita abadi:

memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa.

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"

tanyamu.

Kita abadi.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

0 komentar:

Posting Komentar